Apa latar belakang terjadinya Perang Salib? Terkadang pertanyaan ini perlu kita cari tahu jawabanya agar kita tahu akan peristiwa yang terjadi dan pelajaran yang perlu kita ambil darinya. Karena hal ini adalah menjadi salah satu senjata kaum Nasrani untuk membantah pernyataan bahwa tidak ada pemaksaan masuk agama Islam dalam peristiwa ini.
Seharusnya, perang salib yang berlangsung selama 200 tahun itu tidak perlu terjadi, kalau tidak ada pengerahan besar-besaran orang Eropa ke timur tengah. Meninggalkan kampung halaman, anak, istri, keluarga, harta benda, ladang pertanian dan penghidupan, jutaan pemuda Eropa dengan dimotivasi oleh gereja datang menyerahkan nyawa ke Palestina. Tujuannya untuk merebut kota itu dari tangan umat Islam, yang selama ini telah memakmurkan negeri itu dengan damai dan sejahtera. Bahkan gereja sempat mengimingi dengan surat pengampunan dosa segala.
Padahal kalau ingin berkunjung baik-baik dan menjalankan ritual ibadah sesuai dengan ajaran nasrani, pintu Baitul Maqdis sangat terbuka lebar. Apalagi selama ini umat nasrani dan yahudi memang hidup damai di baitul maqdis itu, di bawah kepemimpinan Islam. Belum pernah pemerintahan Islam iseng, misalnya, lalu melarang-larang kegiatan gereja, atau mengganggu kegiatan peringatan hari besar mereka. Sebaliknya, justru umat nasrani dan yahudi mendapatkan perlindungan dari musuh mereka.
Bahkan seringkali pemerintah Islam menyalurkan dana zakat kepada fakir miskin di kalangan nasrani dan yahudi. Dan hal itu memang seringkali terjadi, sejak masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab ra. Dan masuknya umat Islam ke baitul maqdis itu dengan sangat agungnya, karena pimpinan tertinggi umat nasrani yang menyerahkan kunci baitul maqdis kepada khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Saat itu dia berkata bahwa dia tidak akan menyerahkan kunci negeri itu kecuali bila yang menerimanya langsung pimpinan tertinggi umat Islam.
Maka berangkatlah khalifah Umar bin Al-Khattab ra. dari kota Madinah bersama dengan seorang pelayannya membawa seekor keledai. Karena tubuh khalifah lumayan besar, tidak mungkin bila hewan itu ditunggangi berdua. Terpaksa mereka harus bergantian. Kebetulan, ketika tiba di pintu gerbang Baitul Maqdis, giliran pelayannya yang naik, sedangkan khalifah Umar yang menuntunnya. Sehingga masyarakat langsung menyambut pelayan yang di atas tunggangan dan meninggalkan Umar. Hal itu terjadi karena sedemikian bersahajanya sang Khalifah, sehingga orang-orang tidak mampu membedakan mana tuan dan mana pelayan.
Sejak saat itulah secara resmi umat nasrani memang telah menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada umat Islam. Pertanyaanya: mengapa mereka mau menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada umat Islam?
Jawabannya sederhana dan semua orang sudah tahu. Yaitu bahwa umat Islam itu tidak pernah memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Umat Islam itu adalah umat yang sangat menghormati agama lain, bahkan mereka begitu mengormati semua nabi umat lain. Ibrahim, Daud, Sulaeman, Musa, Isa dan nabi lainnya begitu terhormat kedudukannya di dalam Islam. Bahkan syariat yang turun kepada umat Islam teramat mirip dengan syariat yang ada dalam kitab suci yahudi dan nasrani.
Bahkan Najasyi, raja Habasyah yang nasrani itu secara tegas menyatakan bahwa tidak ada beda antara agama kami dengan wahyu yang turun kepada Muhammad SAW kecuali hanya seperti garis kecil ini saja. Beliau berkata sambil menggoreskan tongkatnya ke lantai.
Pemeluk nasrani di Baitul Maqdis saat itu sudah jatuh terkagum-kagum dengan keluhuran budi umat Islam. Kesederhanaan umat Islam, kebersahajaannya, keikhlasannya, kemurnian niatnya, keramahannya, keamanan yang mereka berikan serta sifat kebersahabatan mereka, telah membuktikan bahwa Islam adalah teman bukan musuh. Dan tidak ada umat yang paling layak untuk diberikan amanah untuk menjaga perdamaian di Baitul Maqdis kecuali umat Islam.
Bahkan di Damasq, Panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah pernah mengembalikan pajak rakyat lantaran merasa belum mampu menjalankan kewajiban pemerintah untuk memberikan keamanan yang maksimal. Pernah anda membaca tentang sebuah pemerintahan yang mengembalikan pajak kepada rakyat secara tunai? Mungkin anda akan bilang bahwa hal itu hanya terjadi di negeri dongeng. Anda salah besar, sebab itulah yang terjadi dalam sejarah. Umat Islam tidak pernah mengambil sesuatu yang memang bukan haknya.
Maka sejak menerima kunci Baitul Maqdis dari pemimpin nasrani, negeri itu menjadi negeri yang sangat makmur dan diberkahi. Tiga agama besar dunia hidup rukun dan damai dalam satu negeri, sungguh pemandangan indah yang menjadi kenangan manis. Semua agama hidup dengan amannya bagai berada di tengah kerajaan surga (Kingdom of Heaven) selama ratusan tahun.
Sampai datangnya pasukan salib dari Eropa yang mengusik ketenangan Baitul Maqdis. Bahasa mereka adalah bunuh, bakar, jarah, serbu dan hancurkan. Mulailah kehidupan harmonis di negeri para nabi itu terkoyak akibat keserakahan raja Eropa, kebodohan pasukan bersenjata dan dengki yang membara. Maka mulailah cerita berdarah-darah yang tak kunjung habisnya. Hingga perang 200 tahun lamanya meninggal luka menganga. Cerita keluarga yang tercerai berai, anggota keluarga yang mati sia-sia, prajurit yang cacat dan terluka parah dan kerugian harta benda, semua menjadi sejarah hitam dan menjadi dendam turun temurun buat bangsa Eropa dan diwariskan dari generasi ke generasi hingga hari ini. Sejarah kegagalan (baca: kekalahan) Eropa dalam upaya merebut Baitul Maqdis telah menjadi doktrin alam bawah sadar para anak keturunan mereka hingga hari ini.
Ingatlah, ketika bom 11 September 2001 meledak di New York, entah sadar atau tidak, Presiden Amerika langsung berkata bahwa ini adalah perang salib. Bayangkan, betapa dendam membara masih bergelora pada benak anak keturunan pasukan salib. Padahal mereka sendiri yang dahulu punya inisiatif menyerbu dari Eropa, mereka yang memulai mengusik ketenangan harmoni kehidupan Baitul Maqdis, mereka juga yang kehilangan jutaan prajurit akibat pertahanan luar biasa dari pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi. Toh, Shalahuddin tidak pernah berpikir untuk membalas dan menyerbu Eropa. Bahkan dengan senang hati beliau mengobati dan merawat luka raja Inggris yang sekarat, Richard the Lion Heart hingga sembuh seperti sediakala.
Jika tidak ada sifat serakah, dengki dan haus darah dari Eropa saat itu kepada umat Islam, sejarah tidak perlu menulis perang salib dengan tinta darah. Dan hari ini, bila tidak ada sifat yang sama dari Yahudi kepada umat Islam, tidak perlu ada perang di Palestina. Biarkan saja Islam secara alami mengatur kehidupan di Palestina, sebab sejarah sudah membuktikan bahwa selama umat Islam diserahi amanat, tiga agama besar dunia bisa hidup rukun dan damai di negeri itu. Dan itu pasti.
wallahu a'lam.
Seharusnya, perang salib yang berlangsung selama 200 tahun itu tidak perlu terjadi, kalau tidak ada pengerahan besar-besaran orang Eropa ke timur tengah. Meninggalkan kampung halaman, anak, istri, keluarga, harta benda, ladang pertanian dan penghidupan, jutaan pemuda Eropa dengan dimotivasi oleh gereja datang menyerahkan nyawa ke Palestina. Tujuannya untuk merebut kota itu dari tangan umat Islam, yang selama ini telah memakmurkan negeri itu dengan damai dan sejahtera. Bahkan gereja sempat mengimingi dengan surat pengampunan dosa segala.
Padahal kalau ingin berkunjung baik-baik dan menjalankan ritual ibadah sesuai dengan ajaran nasrani, pintu Baitul Maqdis sangat terbuka lebar. Apalagi selama ini umat nasrani dan yahudi memang hidup damai di baitul maqdis itu, di bawah kepemimpinan Islam. Belum pernah pemerintahan Islam iseng, misalnya, lalu melarang-larang kegiatan gereja, atau mengganggu kegiatan peringatan hari besar mereka. Sebaliknya, justru umat nasrani dan yahudi mendapatkan perlindungan dari musuh mereka.
Bahkan seringkali pemerintah Islam menyalurkan dana zakat kepada fakir miskin di kalangan nasrani dan yahudi. Dan hal itu memang seringkali terjadi, sejak masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab ra. Dan masuknya umat Islam ke baitul maqdis itu dengan sangat agungnya, karena pimpinan tertinggi umat nasrani yang menyerahkan kunci baitul maqdis kepada khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Saat itu dia berkata bahwa dia tidak akan menyerahkan kunci negeri itu kecuali bila yang menerimanya langsung pimpinan tertinggi umat Islam.
Maka berangkatlah khalifah Umar bin Al-Khattab ra. dari kota Madinah bersama dengan seorang pelayannya membawa seekor keledai. Karena tubuh khalifah lumayan besar, tidak mungkin bila hewan itu ditunggangi berdua. Terpaksa mereka harus bergantian. Kebetulan, ketika tiba di pintu gerbang Baitul Maqdis, giliran pelayannya yang naik, sedangkan khalifah Umar yang menuntunnya. Sehingga masyarakat langsung menyambut pelayan yang di atas tunggangan dan meninggalkan Umar. Hal itu terjadi karena sedemikian bersahajanya sang Khalifah, sehingga orang-orang tidak mampu membedakan mana tuan dan mana pelayan.
Sejak saat itulah secara resmi umat nasrani memang telah menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada umat Islam. Pertanyaanya: mengapa mereka mau menyerahkan kunci Baitul Maqdis kepada umat Islam?
Jawabannya sederhana dan semua orang sudah tahu. Yaitu bahwa umat Islam itu tidak pernah memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Umat Islam itu adalah umat yang sangat menghormati agama lain, bahkan mereka begitu mengormati semua nabi umat lain. Ibrahim, Daud, Sulaeman, Musa, Isa dan nabi lainnya begitu terhormat kedudukannya di dalam Islam. Bahkan syariat yang turun kepada umat Islam teramat mirip dengan syariat yang ada dalam kitab suci yahudi dan nasrani.
Bahkan Najasyi, raja Habasyah yang nasrani itu secara tegas menyatakan bahwa tidak ada beda antara agama kami dengan wahyu yang turun kepada Muhammad SAW kecuali hanya seperti garis kecil ini saja. Beliau berkata sambil menggoreskan tongkatnya ke lantai.
Pemeluk nasrani di Baitul Maqdis saat itu sudah jatuh terkagum-kagum dengan keluhuran budi umat Islam. Kesederhanaan umat Islam, kebersahajaannya, keikhlasannya, kemurnian niatnya, keramahannya, keamanan yang mereka berikan serta sifat kebersahabatan mereka, telah membuktikan bahwa Islam adalah teman bukan musuh. Dan tidak ada umat yang paling layak untuk diberikan amanah untuk menjaga perdamaian di Baitul Maqdis kecuali umat Islam.
Bahkan di Damasq, Panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarrah pernah mengembalikan pajak rakyat lantaran merasa belum mampu menjalankan kewajiban pemerintah untuk memberikan keamanan yang maksimal. Pernah anda membaca tentang sebuah pemerintahan yang mengembalikan pajak kepada rakyat secara tunai? Mungkin anda akan bilang bahwa hal itu hanya terjadi di negeri dongeng. Anda salah besar, sebab itulah yang terjadi dalam sejarah. Umat Islam tidak pernah mengambil sesuatu yang memang bukan haknya.
Maka sejak menerima kunci Baitul Maqdis dari pemimpin nasrani, negeri itu menjadi negeri yang sangat makmur dan diberkahi. Tiga agama besar dunia hidup rukun dan damai dalam satu negeri, sungguh pemandangan indah yang menjadi kenangan manis. Semua agama hidup dengan amannya bagai berada di tengah kerajaan surga (Kingdom of Heaven) selama ratusan tahun.
Sampai datangnya pasukan salib dari Eropa yang mengusik ketenangan Baitul Maqdis. Bahasa mereka adalah bunuh, bakar, jarah, serbu dan hancurkan. Mulailah kehidupan harmonis di negeri para nabi itu terkoyak akibat keserakahan raja Eropa, kebodohan pasukan bersenjata dan dengki yang membara. Maka mulailah cerita berdarah-darah yang tak kunjung habisnya. Hingga perang 200 tahun lamanya meninggal luka menganga. Cerita keluarga yang tercerai berai, anggota keluarga yang mati sia-sia, prajurit yang cacat dan terluka parah dan kerugian harta benda, semua menjadi sejarah hitam dan menjadi dendam turun temurun buat bangsa Eropa dan diwariskan dari generasi ke generasi hingga hari ini. Sejarah kegagalan (baca: kekalahan) Eropa dalam upaya merebut Baitul Maqdis telah menjadi doktrin alam bawah sadar para anak keturunan mereka hingga hari ini.
Ingatlah, ketika bom 11 September 2001 meledak di New York, entah sadar atau tidak, Presiden Amerika langsung berkata bahwa ini adalah perang salib. Bayangkan, betapa dendam membara masih bergelora pada benak anak keturunan pasukan salib. Padahal mereka sendiri yang dahulu punya inisiatif menyerbu dari Eropa, mereka yang memulai mengusik ketenangan harmoni kehidupan Baitul Maqdis, mereka juga yang kehilangan jutaan prajurit akibat pertahanan luar biasa dari pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi. Toh, Shalahuddin tidak pernah berpikir untuk membalas dan menyerbu Eropa. Bahkan dengan senang hati beliau mengobati dan merawat luka raja Inggris yang sekarat, Richard the Lion Heart hingga sembuh seperti sediakala.
Jika tidak ada sifat serakah, dengki dan haus darah dari Eropa saat itu kepada umat Islam, sejarah tidak perlu menulis perang salib dengan tinta darah. Dan hari ini, bila tidak ada sifat yang sama dari Yahudi kepada umat Islam, tidak perlu ada perang di Palestina. Biarkan saja Islam secara alami mengatur kehidupan di Palestina, sebab sejarah sudah membuktikan bahwa selama umat Islam diserahi amanat, tiga agama besar dunia bisa hidup rukun dan damai di negeri itu. Dan itu pasti.
wallahu a'lam.
Posting Komentar