Apa yang dilakukan Napoleon dalam menggaet dukungan rakyat Mesir bisa dikatakan kiat khas politisi sekularis-Machiavelis. Baginya, agama hanyalah faktor pelengkap. Agama dipandangnya laksana baju, yang bisa dipakai dan ditanggalkan, kapan saja diperlukan. Hari ini mengaku umat beragama yang taat, besok menghina dan membuang agama. Satu waktu menyatakan sebagai pembela Islam, dan kapan-kapan lagi jika diperlukan, Islam pun dilepaskannya. Agama bukan dipandang sebagai faktor internal, tetapi keperluan kontemporer, tergantung waktu dan tempat.
Saat bicara moralitas politik, sulit dilepaskan nama Machiavelli. Bukunya, The Prince, oleh banyak pemikir, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam sosial politik umat manusia. Sebuah buku berjudul World Masterpieces yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance, sejajar dengan The Old Testament dan The New Testament.
Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa, karena dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai amoral. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah survival. Dan ini melampaui nilai-nilai moral keagamaan dan kepentingan dari individu-individu dalam negara. Dengan membuang faktor baik dan buruk dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan. Maka, kata Machiavelli lagi, Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan terror.
Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli adalah ia telah mengangkap persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan. Politik dipandang sekedar seni untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional.
Kita tahu, lima pasangan capres/wapres kali ini, Amien Rais-Siswono Yudhohusodo, Wiranto-Shalahuddin Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono-Yusuf Kalla, Megawati-Hasyim Muzadi, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar, semuanya Muslim. Salah satu pasangan itu pun berasal dari kalangan tokoh-tokoh organisasi Islam. Ini tentu suatu modal yang baik. Tentu, semua paham, bahwa agama adalah komoditas politik yang sangat penting untuk meraih dukungan.
Para politisi sekuler tahu benar cara menggalang dukungan dari umat beragama. Ariel Sharon, politisi sayap kanan sekuler, manggalang dukungan Yahudi ortodoks dengan mengangkat isu hak teologis-historis Yahudi atas Temple Mount. Theodore Herzl, seorang sekular, mengeksploitasi ayat-ayat dalam Bible untuk memberikan legitimasi gerakan Zionis. George W. Bush, meraih dukungan kuat dari kalangan fundamentalis Kristen AS (New Christian Right), melalui pencitraannya sebagai orang Kristen yang lahir kembali (reborn Christian). Ketika ditanya, siapa filosof favoritnya, Bush menjawab, Jesus Kristus. Tentu bisa dipertanyakan, apakah serangan AS ke Irak sesuai dengan ajaran Jesus? Padahal, Paus dan jutaam kaum Kristen mengecam serangan AS itu.
Kini, di Indonesia, para capres/wapres sibuk menggalang dukungan rakyat Indonesia yang sekitar 180 juta diantaranya adalah Muslim. Sebuah potensi pasar yang sangat besar. Dalam rumus politik sekular, suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox dei. Rakyat dipandang sebagai sumber kebanaran, bukan wahyu. Maka, tidakah aneh, jika para politisi sekular, akan lebih menghitung dukungan rakyat, ketimbang kebenaran. Para politisi demokrat di AS dan Belanda, misalnya, harus menyatakan dukungannya kepada praktik homoseksualitas, karena banyak rakyat yang sudah hobi dengan maksiat itu.
Bahkan di Israel, tahun lalu, dalam satu acara perkumpulan yang digalang oleh kelompok homoseksual/lesbian (Agudah), tokoh Partai Likud pun ikut mendukung agenda kaum homoseks itu. Bat-Sheva Shtauchler, tokoh Likud, menyatakan: "We will support everything. Who said the Likud doesn't cooperate with the community?" Biasanya, Likud termasuk yang menentang keras praktik homoseksual, karena dalam Bible (Imamat, 20:13), memang disebutkan, pelaku homoseksual harus dihukum mati.
Untuk meraih dukungan rakyat yang berbagai macam inilah, tidak jarang ada politisi yang mencoba menyenangkan semua kelompok. Likulli maqaam maqaal. Setiap tempat ada jenis perkataan sendiri. Kadangkala, bukan sekedar diplomasi, tetapi berbohong. Bertemu dengan si-A menyatakan akan mendukung penerapan syariat Islam. Lain tempat, lain waktu, bertemu si-H menyatakan, ucapannya sekedar taktis politis. Politisi seperti ini, jika sukses, karirnya terus melejit, dukungan mengalir terhadapnya, akan dijuluki sebagai politisi yang lihai, cerdik, licin, piawai, dan sebagainya. Yang penting adalah kekuasaan. Cara apa pun perlu ditempuh, demi meraih atau mempertahankan kekuasaan. Dusta dipandang biasa. Padahal, Nabi Muhammad saw mengingatkan: Tanda-tanda orang-orang munafik ada tiga: jika bicara dusta, jika berjanji ingkar, dan jika dipercaya khianat.
Dusta, ingkar janji, dan khianat terhadap amanah, adalah ciri-ciri orang munafik. Itu memang baru tanda-tanda. Signals. Para capres/wapres tentu tidak ingin dimasukkan (oleh Allah SWT) ke dalam golongan orang munafik. Mereka sudah menuliskan janji-janjinya dan menyerahkannya ke KPU. Indah dan ideal sekali janji-janji mereka. Ada yang menjanjikan akan mengangkat martabat bangsa, mewujudkan pemerintahan yang baik, penegakan hukum, perlindungan HAM, memperbaiki pendidikan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan rekonsiliasi nasional.
Ada juga yang menjanjikan akan memperkokoh NKRI, mengukuhkan martabat bangsa melalui pembangunan karakter, kepribadian, dan kemampuan bangsa; mewujudkan kemakmuran dan keadilan rakyat; mewujudkan kedaulatan rakyat; dan mewujudkan persamaan warga negara. Ada juga yang menjanjikan untuk menyempurnakan reformasi politik dan menggelindingkan penyelesaian reformasi hukum, pertahanan keamanan ketertiban (hankamtib), kelembagaan birokrasi, sosial, juga ekonomi. Secara praktis, dijanjikan, adanya penegakan supremasi hukum untuk mengadili koruptor dan pelanggar HAM, menindak tegas gerakan separatis, serta mengembangkan birokrasi yang melayani rakyat. Mereka juga memprogramkan untuk melakukan konsolidasi fiskal agar ketentuan anggaran pendidikan 20 persen terpenuhi, memperkuat sektor pertanian, dan menangani problem perburuhan secara arif.
Sebenarnya, hampir tidak ada yang baru dalam janji-janji para capres/wapres itu. Yang ditunggu adalah realisasinya. Sama dengan rezim-rezim dan penguasa sebelumnya. Para calon itu pun paham bahwa kondisi bangsa ini sangat pelik, serius, dan dalam beberapa hal sudah menjadi lingkaran setan. Sementara dengan hasil perolehan pemilu 2004 yang begitu menyebar tidak ada satu partai yang dominan maka kecenderungan koalisi dagang sapi sangat besar.
Kondisi Indonesia sungguh luar biasa. Karena itu, jika ditangani dengan biasa-biasa saja, tidak akan banyak hasil yang diraih. Indonesia membutuhkan pemimpin yang biasa-biasa saja, tetapi berani dan mampu melakukan tindakan yang luar biasa. Perampasan harta koruptor, perombakan besar-besaran sistem dan aparat hukum, perombakan mendasar mental aparat dan rakyat, peletakan budaya ilmu, dan sebagainya. Semua itu merupakan kerja yang luar biasa.
Problem penegakan hukum, misalnya, menyangkut hampir semua aspek: unsur materi hukum, aparat pelaksana, institusi hukum, dan juga mental masyarakat. Dalam keadaan sistem dan aparat hukum saat ini, pengadilan terhadap koruptor justru menjadi ajang korupsi baru. Semua orang tahu, bagaimana perlakuan istimewa yang diterima narapidana berduit di LP.
Probem pendidikan, bukan hanya soal kecilnya anggaran yang kurang dari 20 persen. Tetapi juga alokasi yang sangat tidak adil antara pendidikan kedinasan dan non-kedinasan. Ini sudah berulangkali dibahas di DPR, tetapi toh tidak ada jalan keluar. Masalah utang pun sangat serius. Setiap tahun, rakyat dizalimi dengan pemotongan hak budget mereka untuk membayar utang najis (odious debt) yang tak pernah mereka nikmati dan jumlahnya mencapai ratusan trilyun rupiah.
Mental dan sistem birokrasi juga bukan main parah dan borosnya. Di mana-mana. Dan semua tahu. Di zaman reformasi pun semua itu masih berjalan seperti biasa. Semboyan KUHP masih tetap berlaku, Kasih Uang Habis Perkara. Para capres/wapres itu pun pasti tahu akan hal ini. Sekali kunjungan ke daerah, Presiden/Wakil Presiden bisa menghabiskan dana milyaran rupiah. Simaklah, bagaimana DPR/DPRD mengelola keuangan rakyat. Begitu banyak pemborosan. Tahun 2003 lalu, untuk HUT Kemerdekaan RI di Istana Negara, menghabiskan dana sekitar Rp 4 milyar. Pemindahan bendera Pusaka dati Istana ke Monas menelan duit Rp 3,5 milyar. Renovasi Patung Arjuna Wijaya (Depan Gedung BI) menelan dana Rp 4 milyar. Jangan tanya lagi berapa trilyun dana dihabiskan untuk acara-acara seremonial bernama kunjungan kerja, studi banding, dan sebagainya.
Padahal, konon, tahun lalu, menurut laporan Transparansi Internasional, Indonesia masih menduduki negara nomor lima terkorup di dunia, setelah Nigeria, Tanzania, Honduras, Paraguay, Kamerun. Angka Kemiskinan, menurut Depsos: 37,3 juta tergolong miskin (pendapatan 1-2 USD/hari), 15,8 juta fakir miskin (pendapatan dibawah 1 USD/hari), sisanya sejahtera (di atas 2 USD/hari). Jika parameter Depsos ini digeser ke atas sedikit saja, maka akan muncul angka kemiskinan yang sangat dahsyat. Belum lagi soal pengangguran yang konon tahun lalu, hanya mencapai 8,1 persen. Angka ini pun luar biasa bagusnya. Padahal, banyak yang memperkirakan, angka pengangguran di Indonesia mencapai sekitar 40 juta jiwa. Bayangkan, jumlah itu hampir sama dengan dua kali penduduk Malaysia.
Walhasil, ibarat tubuh manusia, kondisi Indonesia bak sedang digerogoti kanker yang sangat ganas. Yang dibutuhkan adalah dokter yang cerdas, ikhlas, tidak was-was, alias berani mengambil tindakan yang luar biasa. Jika perlu mengamputasi sebagian anggota tubuh, termasuk kroni-kroni Presiden sendiri. Karena itu, jika para capres/wapres masih berpikir biasa-biasa saja untuk Indonesia -- apalagi jika mereka lebih berpikir untuk kepentingan diri mereka dan kroninya -- kita tidak perlu berharap terlalu besar pada mereka. Anggaplah 5 Juli 2004 adalah hari biasa-biasa saja. Karena memang tidak akan ada apa-apa yang penting untuk Indonesia di masa depan. Lalu, untuk apa jadi Presiden? Wallahu alam. (KL, 25 Mei 2004).
sumber : https://www.facebook.com/pages/Adian-Husaini/212684542165967?fref=ts
Posting Komentar