Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Selama
ini kita menganggap bahwa pacaran itu adalah metode untuk melakukan pendekatan
untuk mengenal lebih dekat. Namun kenyataannya tujuan itu jarang yang tercapai.
Karena umumnya alih-alih melakukan pendekatan, yang terjadi justru melakukan
sekian banyak bentuk kemaksiatan.
Buktinya,
berapa banyak pasangan muda yang sebelum menikah sempat pacaran bertahun-tahun,
bahkan ada yang sampai 5 – 10 tahun, sayangnya begitu mereka menikah langsung
cerai dan hancur berantakan rumah tangganya. Belum lagi meningkatnya kasus
hamil di luar nikah oleh pasangan sendiri dan juga perilaku seks bebas di
kalangan mahasiswa dan pelajar.
Istilah
pacaran itu sendiri sudah merupakan kelaziman di tengah masyarakat dimana
pasangan tidak sah melakukan serangkaian aktifitas bersama. Dan realitas di
tengah masyarakat sudah mengenal persis aktifitas pacaran itu yang identik
dengan apel malam minggu (namanya apel sudah pasti berduaan, karena kalau
rame-rame namanya rombongan), juga nonton ke bioskop berdua, berboncengan
sepeda motor, jalan-jalan berduaan, makan di restoran berduaan, tukar menukar
SMS, saling bertelepon siang dan malam dan semua aktifitas lain yang
mengasyikkan. Intinya adalah kebersamaan dan berduaan. Hampir sulit dikatakan
pacaran bila semua itu dilakukan bersama-sama dalam kelompok besar.
Bahkan
hakikat pacaran adalah pada keberduaannya itu. Inilah pacaran yang dikenal
masyarakat dan bukan yang tertulis dalam kamus. Jadi dengan pengertian yang
lazim dikenal masyarakat sekarang ini tentang pacaran, maka tidak bisa lain
semua itu adalah khalwat yang diharamkan.
Islam
sudah memperingatkan laki-laki dan wanita yang bukan mahram untuk tidak menyepi
berduaan karena yang ketiganya adalah setan.
Rasulullah
SAW bersabda,
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian
dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya
ialah syaitan." (Riwayat Ahmad)
"Jangan
sekali-kali salah seorang di antara kamu menyendiri dengan seorang perempuan,
kecuali bersama mahramnya."
Imam
Qurthubi dalam menafsirkan firman Allah yang berkenaan dengan isteri-isteri
Nabi, yaitu yang tersebut dalam surah al-Ahzab ayat 53, yang artinya:
"Apabila kamu minta sesuatu (makanan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi),
maka mintalah dari balik tabir. Karena yang demikian itu lebih dapat
membersihkan hati-hati kamu dan hati-hati mereka itu," mengatakan:
maksudnya perasaan-perasaan yang timbul dari orang laki-laki terhadap orang
perempuan, dan perasaan-perasaan perempuan terhadap laki-laki. Yakni cara
seperti itu lebih ampuh untuk meniadakan perasaan-perasaan bimbang dan lebih
dapat menjauhkan dari tuduhan yang bukan-bukan dan lebih positif untuk
melindungi keluarga.
Ini
berarti, bahwa manusia tidak boleh percaya pada diri sendiri dalam hubungannya
dengan masalah bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya.
Oleh karena itu menjauhi hal tersebut akan lebih baik dan lebih dapat
melindungi serta lebih sempurna penjagaannya.
Istilah
pacaran sebenarnya tidak ada batasan bakunya, namun umumnya yang namanya
pacaran itu –apalagi di zaman permisif dan hedonis sekarang ini- tidak lain
adalah hubungan lain jenis non mahram dengan segala aktifitas maksiatnya dari
khalwat, zina mata, zina telinga dan sampai zina kemaluan.
Bahkan
beberapa penelitian di berbagai tempat seperti di Yogyakarta beberapa waktu
lalu menyebutkan bahwa sebagian besar pasangan pacaran itu memang telah
melakukan hubungan tidak senonoh mulai dari bercumbu, berpelukan, berciuman
sampai persetubuhan. Parahnya, semua itu umumnya dilakukan oleh para mahasiswa
yang nota bene terpelajar dan calon pemimpin bangsa.
Jadi
hampir bisa dikatakan bahwa pacaran itu tidak lain adalah zina atau minimal
mendekati wilayah zina yang memang haram dan dilarang oleh semua agama.
Lalu
bagaimana seorang laki-laki bisa mengenal calon pasangan hidupnya kalau bukan
dengan cara pacaran ?
Islam
sesungguhnya sejak awal sudah memperkenalkan istilah ta’aruf sebagai sarana
yang objektif dalam melakukan pengenalan dan pendekatan. Ta’aruf sangat berbeda
dengan pacaran. Ta`aruf adalah sesuatu yang syar`i dan memang diperintahkan
oleh Rasulullah SAW bagi pasangan yang ingin nikah. Perbedaan hakiki antara
pacaran dengan ta’aruf adalah dari segi tujuan dan manfaat.
Tujuan
pacaran lebih kepada kenikmatan sesaat, zina dan maksiat. Sedang ta’aruf jelas
sekali tujuannya yaitu untuk mengetahui kriteria calon pasangan.
Dalam
pacaran, mengenal dan mengetahui hal-hal tertentu calon pasangan dilakukan
dengan cara yang sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah pengenalan. Ibarat
seorang yang ingin membeli mobil second tapi tidak melakukan pemeriksaan, dia
cuma memegang atau mengelus mobil itu tanpa pernah tahu kondisi mesinnya.
Bahkan dia tidak menyalakan mesin atau membuka kap mesinnya. Bagaimana mungkin
dia bisa tahu kelemahan dan kelebihan mobil itu.
Sedangkan
taaruf adalah seperti seorang montir mobil ahli yang memeriksa mesin, sistem
kemudi, sistem rem, sistem lampu dan elektrik, roda dan sebagainya. Bila
ternyata cocok, maka barulah dia melakukan tawar menawar.
Ketika
melakukan ta’aruf, seseorang baik pihak laki atau wanita berhak untuk bertanya
yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan
lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya. Karena bila tidak
jujur, bisa berakibat fatal nantinya.
Namun
secara teknis, untuk melakukan pengecekan, calon pembeli tidak pernah boleh
untuk membawa pergi mobil itu sendiri. Silahkan periksa dengan baik dan kalau
tertarik, mari bicara harga.
Dalam
upaya ta’aruf dengan calon pasangan, pihak laki dan wanita dipersilahkan
menanyakan apa saja yang kira-kira terkait dengan kepentingan masing-masing
nanti selama mengarungi kehidupan. Tapi tentu saja semua itu harus dilakukan
dengan adab dan etikanya. Tidak boleh dilakukan cuma berdua saja. Harus ada
yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta`aruf
bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan yang bersifat
realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.
Disinilah
letak perbedaan antara pacaran dengan taaruf. Pacaran adalah jalan-jalan asyik
berdua, jajan, nonton, bermesraan dan bercumbu. Sama sekali tidak ada porsi
tentang persiapan riil untuk hidup. Bahkan pacaran cenderung bohong dan menipu,
karena umumnya masing-masing pihak ingin tampil ‘wah’ di depan pasangannya.
Bedak, gincu, parfum, pakaian bagus, mobil dan segala asesoris lainnya adalah
sesuatu yang harus ditonjolkan. Semua sangat jauh dari kehidupan real nanti
dalam keluarga.
Padahal
setelah menikah, justru semua itu akan ditinggalkan dan masing-masing baru akan
tampil dengan wajah dan kelakuan aslinya. Padahal dahulu hal-hal seperti itu
tidak pernah dibahas dalam masa pacaran, karena semua waktunya tersita untuk
jatuh cinta.
Taaruf
adalah media syar`i yang dapat digunakan untuk melakukan pengenalan terhadap
calon pasangan. Sisi yang dijadikan pengenalan tidak hanya terkait dengan data
global, melainkan juga termasuk hal-hal kecil yang menurut masing-masing pihak
cukup penting.
Misalnya
masalah kecantikan calon istri, dibolehkan untuk melihat langsung wajahnya
dengan cara yang seksama, bukan cuma sekedar curi-curi pandang atau ngintip
fotonya. Justru Islam telah memerintahkan seorang calon suami untuk mendatangi
calon istrinya secara langsung face to face, bukan melalui media foto, lukisan
atau video.
Karena
pada hakikatnya wajah seorang wanita itu bukan aurat, jadi tidak ada salahnya
untuk dilihat. Dan khusus dalam kasus ta`aruf, yang namanya melihat wajah itu
bukan cuma melirik-melirik sekilas, tapi kalau perlu dipelototi dengan seksama.
Periksalah apakah ada jerawat numpang tumbuh disana. Begitu juga dia boleh
meminta diperlihatkan kedua tapak tangan calon istrinya. Juga bukan melihat
sekilas, tapi melihat dengan seksama. Karena tapak tangan wanita pun bukan
termasuk aurat.
Lalu
bagaimana dengan keharusan ghadhdhul bashar ? Bab ghadhdhul bashar tempatnya
bukan saat ta`aruf, karena pada saat ta`aruf, secara khusus Rasulullah SAW
memang memerintahkan untuk melihat dengan seksama dan teliti. Kalau sekali
melihat ternyata belum yakin, boleh melihat lagi dan lagi hingga betul-betul
kuat motivasi untuk menikahinya.
Selain
urusan melihat pisik, taaruf juga harus menghasilkan data yang berkaitan dengan
sikap, perilaku, pengalaman, cara kehidupan dan lain-lainnya. Hanya semua itu
harus dilakukan dengan cara yang benar dan dalam koridor syari`ah Islam.
Minimal harus ditemani orang lain baik dari keluarga calon istri atau dari
calon suami. Sehingga tidak dibenarkan untuk pergi jalan-jalan berdua, nonton,
boncengan, kencan, ngedate dan seterusnya dengan menggunakan alasan ta`aruf.
Janganlah ta`aruf menjadi pacaran. Sehingga tidak terjadi khalwat dan ikhtilath
antara pasangan yang belum jadi suami istri ini.
Khusus
berkaitan dengan foto wajah seseorang, sebenarnya bukan media yang 100 % bisa
dipercaya, apalagi bila foto itu cuma ukuran 2x3 hitam putih. Sama sekali tidak
memberi gambaran apa-apa. Begitu juga dengan CV yang ditulis di atas kertas
selembar yang isinya cuma nama, alamat, hobi dan warna kesukaan. Jelas bukan
informasi untuk ta`aruf pada sebuah pernikahan. Kalau cuma pas poto dan
selembar kertas biodata, fungsinya buat bikin KTP atau untuk jadi sahabat pena
di majalah anak-anak. Dus, itu bukan sarana yang tepat untuk sebuah ta`aruf.
Hadaanallahu
Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu
`Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Posting Komentar