selamat datang sahabat, kali ini saya ingin memberikan sedikit kisah dari salah satu ilmuan islam yang ilmunya dapat kita rasakan sekarang, yaitu kisah dari Ibnu Khaldun pasti sudah banyak yang mengenalnya, jika belum berikut akan saya berikan informasi tentang beliau untuk sahabat semua.
Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan. Nama pemberian ayah beliau adalah Abdurrahman, Beliau biasa dipanggil Abu Zaid dan bergelar Waliuddin. Nama Ibnu Khaldun sendiri merujuk pada kakek moyangnya yang bernama Khalid bin Utsman. Orang Arab, sebagai bentuk takzim kepada ketinggian ilmunya, menambahkan huruf wawu dan nun pada nama kakek moyangnya itu. Jadilah ia terkenal hingga sekarang dengan sebutan Ibnu Khaldun.
sumber (http://kisahislamikita.blogspot.com/2012/03/ibnu-khaldun.html)
Nama lengkap beliau adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan. Nama pemberian ayah beliau adalah Abdurrahman, Beliau biasa dipanggil Abu Zaid dan bergelar Waliuddin. Nama Ibnu Khaldun sendiri merujuk pada kakek moyangnya yang bernama Khalid bin Utsman. Orang Arab, sebagai bentuk takzim kepada ketinggian ilmunya, menambahkan huruf wawu dan nun pada nama kakek moyangnya itu. Jadilah ia terkenal hingga sekarang dengan sebutan Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada awal bulan
Ramadhan 732 H, atau tepatnya pada 27 Mei 1332 M. Keluarga Bani Khaldun
diketahui berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah di selatan jazirah Arab.
Banu Khaldun kemudian pindah ke Andalusia dan menetap di Sevilla pada permulaan
penyebaran Islam di sana pada sekitar abad ke-9 masehi. Selanjutnya
keluarga Bani Khaldun merupakan keluarga terpandang yang memegang
jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan angkatan perang Bani Umayyah
Andalusia, Al-Murabitun (Almoravide), dan Al-Muwahhidun (Almohade).
Pada abad ke-13 masehi, ketika Andalusia menjadi republik bangsawan
yang feodal, keluarga Bani Khaldun juga memegang peranan penting.
Pada masa reconquista, keluarga Bani
Khaldun menyeberang ke Ceuta di Afrika Utara sebelum akhirnya menetap di
Tunisia. Perpindahan Bani Khaldun ini terjadi pada tahun 1248, namun ada pula
sumber lain yang mengatakan bahwa Bani Khaldun pindah pada 1223. Di Tunis ini
ternyata Bani Khaldun juga memainkan peran yang cukup penting dalam
pemerintahan. Muhammad Ibn Muhammad, kakek Ibnu Khaldun berprofesi sebagai
seorang Hajib (kepala rumah tangga istana) dinasti Hafsh. la
sangat dikagumi dan disegani di kalangan istana, berkali-kali Amir Abu Yahya
al-Lihyani (711 H), pemimpin dinasti al-Muwahhidun yang telah menguasai bani
Hafz di Tunisia, menawarkan kedudukan yang lebih tinggi kepada Muhammad Ibn
Muhammad, tetapi tawaran itu ditolaknya, pada akhir hayatnya, kakek Ibnu
Khaldun ini suka menekuni ilmu-ilmu keagamaan hingga wafatnya pada 1337 M.
Dalam lingkuangan keluarga terpelajar seperti inilah
Abdurrahman atau Ibnu Khaldun lahir dan tumbuh berkembang. Tentulah lingkungan
keluarganya yang terpelajar ini membawa pengaruh besar kepada Ibnu Khaldun.
Selain itu didukung dengan intelegensi beliau yang di atas rata-rata menjadikan
beliau kelak menjadi tokoh yang mendunia dan karya-karyanya abadi.
Periode Menuntut Ilmu
Ibnu Khaldun muda, seperti halnya pemuda-pemuda Arab
lainnya, mendapatkan pengajaran tradisional langsung dari sang ayah.
Pertama-tama Ibnu Khaldun mempelajari Al-Qur’an dan menghafalnya sekali. Lalu
Ibnu Khaldun juga mempelajari macam-macam qira’at untuk Al-Qur’an. Kemudian
beliau mempelajari ilmu tata bahasa dan syair, dan baru setelah itu beliau
mempelajari hukum. Selain dari sang ayah, Ibnu Khaldun juga amat antusias
mempelajari tafsir, hadits, usul fiqih, tauhid, fiqih madzhab Maliki, fisika
dan matematika.
Semua pengetahuan itu dipelajari langsung oleh Ibnu
Khaldun dari para cendekiawan diTunisia. Di antara para guru beliau adalah Abu
Abdillah Muhrnas Ibn Sa’ad al-Anshari dan Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad
al-Bathani dalam qira’at; Abu Abdillah Ibn al-Qashar dalam ilmu gramatika Arab;
Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Bahr dan Abu Abdillah Ibn Jabir al-Wadiyasyi dalam
sastra; Abu Abdillah al-Jayyani dan Abu Abdillah ibn Abd al-Salam dalam ilmu
fiqh; dan masih banyak lagi gurunya. Yang mengagumkan dari Ibnu Khaldun adalah
kedalaman wawasannya dalam berbagai bidang ilmu yang ia pelajari. Padahal
tentulah bukan perkara mudah mempelajari semua itu secara hampir bersamaan.
Masa menuntut ilmu ini beliau
jalani selama kurang lebih 18 tahun. Terhitung sejak kelahirannya pada 1332
hingga 1350. Setelah matang dengan ilmu-ilmu yang beliau pelajari, pada usia 18
tahun Ibnu Khaldun mulai memasuki dunia politik. Inilah pengalaman pertama Ibnu
Khaldun berprofesi di pemerintahan sebagai Sahib al-Alamah(penyimpan
tanda tangan), pada pemerintahan Abu Muhammad Ibn Tafrakhtan di Tunis.
Periode Berpolitik
Sejak awal terjun ke dunia
politik praktis, Ibnu Khaldun seringkali berpindah-pindah tempat. Semula ia bekerja
di Fez, lalu ke Granada, Baugie, Biskara dan lain-lain, dalam jangka waktu
antara 1350-1382 M. Awal karir sebagai Sahib al-Alamah ini hanya dijalani
Ibnu Khaldun selama kurang lebih 2 tahun, kemudian ia berkelana menuju Biskara.Kemudian pada tahun 1354 Ibnu Khaldun pindah ke Maroko
menetap di Fez. Penguasa Fez, Sultan Abu Inan ketika itu lalu mengangkatnya
menjadi sekretaris sultan.
Selama 8 tahun Ibnu Khaldun
menetap di Fez, banyak sekali intrik politik yang terjadi dan akhirnya juga
menyudutkannya. Sultan Abu Inan menuduhnya berkhianat dan berkomplot dengan Abu
Abdillah Muhammad dari Bani Hafsh. Akhirnya ia memantapkan diri pergi ke
Spanyol dan sampai di Granada pada tanggal 26 Desember 1362 M. Beliau diterima
dengan baik oleh penguasa Granada, Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf. Setahun
kemudian mulailah beliau menjalankan tugas barunya sebagai diplomat. Ibnu
Khaldun di utus kepada Raja Pedro El Cruel, penguasa Sevilla. Di Sevilla inilah
beliau melihat apa yang beliau sebut “peninggalan-peninggalan kekuasaan nenek
moyang saya”. Karena dinilai cakap, Raja Pedro menawarkan tanah-tanah “nenek
moyangnya” asalkan beliau mau bekerja kepada raja Kristen itu. Ibnu Khaldun
menolak tawaran tersebut.
Lagi-lagi aktivitas politik Ibnu
Khaldun menimbulkan kecemburuan di dalam istana Granada. Untuk menghindari
konflik lebih jauh, Ibnu Khaldun mengundurkan diri dan kembali ke Afrika
bersama-sama keluarganya. Kali ini beliau mencoba peruntungan di Bougi, Aljazair.
Penguasa Bougi kemudian mengangkatnya menjadi perdana menteri. Di sini beliau
sempat memimpin pasukan-pasukan kecil untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang
ditimbulkan oleh suku barbar.
Setelah malang melintang di dunia
politik yang penuh intrik dan kekacauan, Ibnu Khaldun akhirnya merasa bahwa ia
harus berhenti. Tahun 1375 menjadi tahun yang amat penting bagi beliau. Sejak
saat itulah beliau melepaskan semua jabatan resmi pemerintahan kemudian
bersama-sama keluarganya menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah di dekat Oran.
Di sinilah beliau berkhalwat dan selama empat tahun berikutnya beliau fokuskan
pikirannya untuk menyelesaikan karya besarnya, Muqaddimah dan
kitab Al-I’bar wa Diwanul Mubtada’wal Khabar fi Ayamul ‘Arab wal A’jam
wal Barbar.
Karena kebutuhan akan bahan-bahan
penyusun karyanya itu, Ibnu Khaldun memutuskan kembali ke kampung halamannnya,
Tunisia, pada 1378. Di Tunisia ini beliau kembali lagi belajar dan sekaligus
juga mengajar. Pada 1382 Ibnu Khaldun berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Sebelum itu beliau singgah
sementara di kota Iskandaria di Mesir. Di kota inilah beliau tertarik untuk
menetap di Kairo dan mengajar di Universitas Al-Azhar.
Periode Mengajar
Ibnu Khaldun tiba di Kairo
setelah karya besarnya, Muqaddimah, lebih dulu terbit di Mesir. Beliau tiba
pada tanggal 6 Januari 1383. Sungguh meriah sambutan rakyat Mesir kepada Ibnu
Khaldun. Pada waktu itu Dinasti Mamluk sedang perkasa di Mesir dan keadaan
politik di sana pun stabil. Selama 20 tahun terakhir hidupnya Ibnu Khaldun
menghabiskannya di Mesir ini. Beliau bergiat menjadi pengajar di Universitas
Al-Azhar dan juga sebagai hakim tinggi di Mahkamah Agung.
Ibnu Khaldun memberikan kuliahnya
di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Mesir, seperti Universitas al-Azhar, Sekolah
Tinggi Hukum Qamhiyah, Sekolah Tinggi Zhahiriyyah dan sekolah tinggi Sharghat
Musyiyyah. Beliau mengajar terutama di bidang fiqih, hadis dan beberapa teori
tentang sejarah sosiologi yang telah ditulisnya dalam Muqaddimah. Selain
berjuang dalam dunia akademik, Ibnu Khaldun juga melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan dunia hukum.
8 Agustus 1384, beliau diangkat
oleh Sultan Al-Zhahir Barqa, sebagai hakim agung Madzab Maliki pada mahkamah
Mesir. Ketika menjabat sebagai hakim agung inilah beliau berusaha keras
mereformasi lembaga hukum yang saat itu banyak dipenuhi korupsi. Tindakannya
ini tentu saja membawa dampak serius bagi dirinya. Sekali lagi Ibnu Khaldun
harus berhadapan dengan orang-orang yang iri dan menyebarkan preseden buruk
atas dirinya. Karena tidak tahan beliau akhirnya memilih mengundurkan diri.
Pada 1387 Ibnu Khaldun
melaksanakan ibadah haji dan ketika beliau kembali ke Mesir diangkat lagi
sebagai hakim agung Mahkamah Mesir oleh Sultan Mesir Nashir Faraj, putera
Sultan Burquq. Tahun 1400 adalah saat paling dramatis yang harus beliau alami.
Beliau beserta beberapa hakim dan ahli hukum lainnya dikirim oleh sultan Mamluk
ke Damaskus yang saat itu terancam oleh serbuan Timur Lenk. Celaka tak dapat
ditolak. Tentara Mesir yang mempertahankan Damaskus dapat dihancurkan oleh
pasukan Tartar dan terpaksa mundur. Sialnya, Ibnu Khaldun tertangkap dan
ditahan sebagai sandera untuk negosiasi penyerahan kota Damaskus kepada Timur
Lenk.
Namun Ibnu Khaldun, yang punya
segunung pengalaman politik tentu memiliki siasat untuk menghadapi Timur Lenk.
Timur Lenk sendiri tertarik pada pengetahuan dan kharisma yang dimiliki Ibnu
Khaldun. Timur Lenk mengajak beliau membahas soal-soal Afrika. Beliau sendiri
mengambil kesempatan untuk melengkapi studinya tentang sejarah bangsa Tartar
dan Mongol baru. Berkat agitasi dan lobi-lobinya, Ibnu Khaldun akhirnya
berhasil menyelamatkan sejumlah orang-orang terkemuka. Begitu kembali ke Mesir
beliau kembali diserahi jabatan hakim agung. Beliau menjabat hakim agung ini
hingga akhir hayatnya.
Karya-karya Ibnu
Khaldun & Pengaruhnya
Ibnu Khaldun dikenal sebagai
sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Qur’an sejak usia dini.
Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena
pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh
telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke
mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya
yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya
dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka
dalam pengembaraannya yang luas pula.
Tahun 1375 menjadi saat yang
penting dalam hidup Ibnu Kholdun. Setelah bergelut dalam aktivitas politik
selama kurang lebih 25 tahun, beliau mulai mengundurkan diri dari hiruk-pikuk
dunia politik dan memulai kembali aktivitas intelektualnya. Dalam masa 4 tahun,
sejak 1375 hingga 1378 beliau memfokuskan dirinya menyelesaikan naskah kitabAl-I’bar yang
telah beliau siapkan sebelumnya. Dengan riset-riset yang terperinci dan
mendalam akhirnya selesailah kitab sejarah itu dalam 7 jilid dengan judul baru Al-I’bar
wa Diwanul Mubtada’wal Khabar fi Ayamul ‘Arab wal A’jam wal Barbar wa Man
‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Dan bagian pendahuluannya yang
sekarang kita kenal dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun sangat
berpengaruh dalam perkembangan ilmu sosial dan terus dikaji hingga kini.
Kitab ini pada tahun 1863
diterjemahkan oleh De Slane ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les
Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Setelah itu menjelang akhir abad ke-19
rumusan-rumusan Ibnu Khaldun dalam kitab ini banyak memengaruhi pemikiran para
sosiolog Jerman dan Austria. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat
tinggi diantaranya, At-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab
autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya), Lubab al-Muhassal fi
Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat
teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar
al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin
ar-Razi).
Komentar Mereka
terhadap Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo
Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19
Maret 1406 M. Dalam hidupnya yang penuh gejolak dan pengembaraan,
renungan-renungan dan riset-risetnya yang mendalam telah menjadikannya seorang
cendekiawan muslim yang begitu masyur hingga sekarang. Tak hanya orang Timur
yang mengkaji mutiara-mutiara pemikirannya, tetapi juga para cendekiawan Barat.
Dan inilah beberapa komentar dari beberapa cendekiawan yang pernah mengkaji
karya-karya beliau.
“Tulisan-tulisan sosial
dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang
diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa
Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris)” – DR. Bryan S.
Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam
artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an.
“… ‘Abd-ar-Rahman ibn Muhammad ibn Chaldun al-Hadrami
dari Tunis (hidup dalam tahun 1332-1406) adalah seorang genial bangsa Arab yang
dalam ‘kesempatan’ kurang dari empat tahun dari lima puluh empat tahun usia
dewasa yang digunakannya untuk bekerja, dapat mencapai suatu hasil karya abadi
berupa sebuah tulisan yang boleh dibandingkan dengan karya Thucydides atau
Machiavelli, baik dalam luas visinya, maupun dalam kekuatan intelektualnya
semata. Bintang Ibn Chaldun tambah bersinar dengan amat cemerlangnya, karena ia
menyoroti alam yang gelap gulita. Kalau Thucydides, Machiavelli, dan Clarendon
adalah bintang-bintang cemerlang yang hidup dalam masa-masa dan tempat-tempat
yang cemerlang pula, maka Ibn Chaldun adalah hanya satu-satunya titik cahaya
yang bersinar pada waktu itu di cakrawala.” – Arnold J. Toynbee,
dari Royal Institute of International Affairs and Oxford University Press,
dalam A Study of History volume III.
“… Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah, politik,
sosiologi, dan ahli ekonomi, seorang yang mendalami persoalan-persoalan
manusia, meneliti kehidupan manusia yang telah lewat untuk memahami kehidupan
sekarang dan di hari yang akan datang. Ia bukan hanya ahli sejarah yang
terbesar dari abad pertengahan, yang menjulang tinggi laksana raksasa diantara
suku orang-orang kerdil, tetapi ia adalah seorang dari ahli filsafat sejarah
yang pertama, seorang pembuka jalan bagi Machiavelli, Bodin, Comte, dan
Curnot.” – George Sarton, dalam Introduction
To the History of Science.
Muqaddimah. Inilah karya monumental Ibnu Khaldun,
seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M. Buku yang ditulis
pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya yang sangat
mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai pemikiran
di dunia Islam, namun juga peradaban Barat.
Orang Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai
Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah adalah karya pertama
yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi
serta sejarah budaya. IM Oweiss dalam karyanya bertajuk Ibn Khaldun: A
fourteenth-Century Economist menilai, Muqaddimah merupakan salah satu buku
perintis ekonomi modern.
Selain itu, Ibnu Khaldun dalam adikaryanya itu
juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam. Yang lebih
menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam
kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang
studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam.
Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan
dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian
berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan
hewan. "Tahap terakhir mineral ''terhubung'' dengan tahap pertama dari
tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,'' tutur Ibnu Khaldun.
Tahap terakhir tanaman, lanjut dia, seperti pohon
kelapa dan tumbuhan yang merambat (pohon anggur), terhubung dengan tahap
pertama binatang, seperti keong (siput) dan kerang yang hanya memiliki kekuatan
sentuh.
Menurut Ibnu Khaldun, dunia binatang kemudian semakin
meluas menjadi berbagai jenis. Dalam proses penciptaan bertahap, hewan/binatang
akhirnya mengarah ke bentuk manusia, yang mampu berpikir dan mengartikan.
"Tahap tertinggi manusia dicapai dari dunia kera, di mana kedua kecerdasan
dan persepsi ditemukan, namun belum mencapai tahap refleksi dan berpikir
sebenarnya," tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun ternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin inMorocco.
Ibnu Khaldun ternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin inMorocco.
Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy.
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy.
Anawati menambahkan dalam bab 26 Kitab
Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma
yansha min al-mafasid, Khadlun menulis sebuah sanggahan sistematis
tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama.
"Dia mengawali sanggahan pada dasar sosial,
argumentasi bahwa banyak ahli kimia yang mampu mendapatkan penghasilan dari
hidup karena pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia dan akhirnya kehilangan
kredibilitas," papar Anawati.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa beberapa ahli
kimia terpaksa melakukan penipuan, baik secara terbuka dengan menggunakan
sedikit lapisan emas / perak di atas perak / perhiasan tembaga maupun secara
diam-diam menggunakan prosedur yang melapisi pemutihan tembaga dengan
menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada saja ahli kimia
yang jujur.
Ibnu Khaldun juga mengkritisi pandangan dan teori
tenteng kimia yang dicetuskan al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Tughrai.
"Ilmu pengetahuan manusia tak berdaya bahkan untuk mencapai yang terendah
sekalipun, kimia menyerupai seseorang yang ingin menghasilkan manusia, binatang
atau tanaman."
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka."
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.''
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka."
Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.''
Begitulah Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam
dalam karyanya yang sangat fenomenal, Al-Muqaddimah.
Dibalik Penulisan Muqaddimah
lbnu Khaldun adalah seorang ilmuwan besar yang
terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H. Ia
bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun Al-Hadrami
Al-Ishbili. Selain dikenal sebagai pemikir hebat, ia juga seorang politikus
kawakan.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal bertajuk Al-Muqaddimah.
''Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan
Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan
saya ramu dari hasil penelitian luas yang terbaik," ungkap Ibnu Khaldun
dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa
Sharqan.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul
Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu
Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering dikutip adalah: `Manusia bukanlah
produk nenek moyangnya, tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial."
Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam bukunya
Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama. Pertama, membicarakan histografi mengupas
kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas
soal ilmu kultur.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu tersebut
merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan
ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14. Meski hanya
sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul al-Ibar, kenyataannya
Al-Muqaddimah lebih termasyhur.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis.
''Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah
menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,"
papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia
politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Al-muqaddimah dengan jernih.
Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum
kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; "Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang."
Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; "Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang."
Pemikiran Ibnu Khaldun telah
memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste
Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme
Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu
Khaldun (1332-1406).
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon
Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon
Ibn Khaldun, nama ini begitu
mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia
adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada
zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang
dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu
Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda
dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari
kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang
di Tunisia(Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak
ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu
memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk
politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam
mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan
organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41).
Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih
lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan.
Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja
memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk
menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum
tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk
dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya
membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum
yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya,
manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang
lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup,
menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri
terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta
telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak
hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan
watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya
Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang
khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan
berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia
bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk
mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertah`nkan hidup
tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga
organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut
eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia
ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah
tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat
terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang
dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota
masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga
dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk
mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia
mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk
menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari
masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat,
mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali / wazi’ (الوازع). Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang
menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang
mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung
dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam
mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan
tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain
hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah:
139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan
oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya
dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa teorinya ini
adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn
Khaldun dalam Muwaddimahnya bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian
yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data
yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini
untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya.
Sosiologi
Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Selain apa yang telah dipaparkan
di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara
(daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). Teorinya
tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern,
teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung
makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme,
atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada
saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau
disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental
yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat
primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan
fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120). Penduduk kota
menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan
banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam
akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan
dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu
dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap
persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang
kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik
dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih.
Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena
kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang
yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani
daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah.
Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan
keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup
memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di
luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka
sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada
orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus
memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong
dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki
‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah:
120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas
sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas)
atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih
mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh
karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka
solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada
solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup
memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan
(Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial
yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas
masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin,
maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132).
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya.
Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar
lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu
memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman
bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan
kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup
di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan
daripada golongan lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak
mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan
Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan
terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang
mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu
solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari
solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas
sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding.
Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan
bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari
kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya
yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka
solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika
negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian,
negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam
kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang
terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah:
139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan.
Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari
kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan
dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan
digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam
solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa
itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih
mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan
golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial
(‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak
manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan
keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau
aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab
menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil
mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling
tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing
ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah
yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya
karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan
dikendalikan (Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama
saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama
dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya,
tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal
diluar Agama (Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan
sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di
kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian
masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang
berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar
merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas
yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam
kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal
dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah
negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik
dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari
rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang
dominan.
Khilafah, Imamah,
Sulthanah
Khilafah menurut Ibn Khaldun
adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai
dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka
pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau
Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah
adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan
menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum
agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi
ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap
organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah:
191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun
Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai
kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy.
Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir
Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa
orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil
dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang
kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka
tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh
bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada
keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka
yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi
menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi
menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli
oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada
kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi
pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan
tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan
kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak
dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok
lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih.
Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun
Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun
merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Bentuk-Bentuk
Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk
pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu
pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya,
seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa
nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya
rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki.
Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter,
individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan
nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai
dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan.
Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan
dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi
dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan
pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan
keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama
(siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan
tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn
Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum
yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan
kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai
asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka
kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah
pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi
rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang harus
diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191). Dari pembagian
pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding
Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak
memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan
pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi
setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem
pemerintahan.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat
teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban
menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau
tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat
(`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya.
Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak
pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam
pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan
mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika
kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha
membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini,
penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para
pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa
menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada
tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu
Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala
kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang
didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena
diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak
peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi
memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang
mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada
generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang
pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn
Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat
yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan.
Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan
‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan
cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian
memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula
biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172).
Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga
teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat
tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi,
catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar
yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul
ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang
merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa
al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di
Universitas of Aberdeen, Scotlanddalam artikelnya “The Islamic Review
& Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu
Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun
hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia
Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis
karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol
dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting
tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai
bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala
sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia
menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan
ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat
primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan
politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab keempat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab keempat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini
sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi
pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan
negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran
yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang
tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit
demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur,
baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat
dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan penting dari
sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah
seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang
luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain
seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai
akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam
tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran.
Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan
kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya
yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan
politik Islam. Dasar pendidikan Al-Qur’an yang diterapkan oleh ayahnya
menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain
ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Al-Qur’an, ia menjunjung tinggi
akan kehebatan Al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa
pendidikan Al-Qur’an termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di
seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Al-Qur’an dapat meresap ke
dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Al-Qur’an pun patut diutamakan
sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”
Jadi nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.
Jadi nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.
Posting Komentar